Sabtu, 25 Juli 2015

MENELISIK JEJAK KERAJAAN MAJAPAHIT DI NGANJUK SELATAN


Kecamatan Ngetos terletak sekitar 17 kilometer di sebelah selatan kota Nganjuk. Toponimi “Ngetos” jika ditelusuri berdasarkan cerita rakyat berasal dari istilah Ngatas Angin, yaitu sebuah kerajaan di lereng Gunung Wilis yang berdiri pada era Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini disebut Ngatas Angin karena berada di dataran tinggi atau lereng gunung.Kerajaan Ngatas Angin dipimpin oleh seorang Raja bernama Raden Condromowo atau Raden Ngabei Selopurwoto. Konon ia disebut Condromowo karena wajahnya sangat rupawan bagai rembulan yang bercahaya. Raden Condromowo ini dikenal pula sebagai paman dari Raja Majapahit yaitu Prabu Hayam Wuruk.Kisah tentang Kerajaan Ngatas Angin dan Raden Condromowo memang tidak populer di kalangan sejarahwan. Kisah tersebut diangap tidak lebih dari legenda yang tidak jelas fakta sejarahnya. Anggapan ini agak tergesa-gesa, karena jika dicermati beberapa sumber sejarah ternyata sangat mendukung kebenaran adanya tokoh Raden Condromowo.

Berdasarkan Serat Pararaton dapat diketahui bahwa Raden Condromowo tidak lain adalah seorang tokoh besar yang bernama Wijayarajasa atau Raden Kudamerta. Tokoh ini sangat berpengaruh pada era Majapahit, karena statusnya adalah paman sekaligus mertua dari Prabu Hayam Wuruk. Menurut keterangan Prasasti Biluluk, Wijayarajasa awalnya adalah penguasa Pamotan (Bhre Pamotan) yang diperkirakan terletak di sekitar Gunung Penanggungan. Menurut catatan Cina Ming Shih, diketahui bahwa pada tahun 1377 Kerajaan Majapahit terbagi dua, yaitu Kedaton Kulon yang berpusat di Trowulan dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dan Kedaton Wetan yang berpusat di Pamotan dipimpin oleh Wijayarajasa. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu tengah terjadi konflik besar di Majapahit antara Hayam Wuruk dengan Wijayarajasa, sehingga Kerajaan Majapahit terbagi dua.

Selepas peristiwa Bubat pada tahun 1357, Mahapatih Gajah Mada tersingkir dari istana dan tidak ada tokoh kuat yang menyokong tahta Prabu Hayam Wuruk. Kesempatan ini digunakan oleh Wijayarajasa untuk merebut tahta Majapahit. Ditambah lagi Wijayarajasa mendapat dukungan dari penguasa (bhre) di berbagai daerah.Pernikahan antara Prabu Hayam Wuruk dengan putri dari Wijayarajasa ditafsirkan oleh sejarahwan Belanda, N.J. Krom, sebagai upaya politik untuk mengakhiri konfrontasi di Majapahit antara pihak Hayam Wuruk dengan Wijayarajasa. Sejak saat itu hubungan keduanya jauh lebih baik dan Wijayarajasa tetap dihormati sebagai penguasa besar di Majapahit. Kitab Negarakertagama memuji-muji Wijayarajasa sebagai raja yang tampan dan masyur di seluruh tanah Jawa.Wijayarajasa yang awalnya berkedaton di Pamotan lalu berpindah ke Wengker, sehingga ia kemudian dikenal sebagai Bhre Wengker. Tidak jelas kapan perpindahan ini terjadi. Yang jelas dengan perpindahan ke Wengker, semakin kokohlah pengaruh Wijayarajasa di seluruh wilayah Majapahit. Hal ini dikarenakan wilayah Wengker sangatlah luas, sehingga seorang penguasa Wengker tentulah memiliki kekuasaan yang sangat besar.

Letak kerajaan Wengker menurut keterangan Babad Ponorogo disebutkan berbatasan dengan beberapa gunung antara lain: Gunung Kendeng, Gunung Pandan, Gunung Wilis dan Gunung Lawu. Dengan demikian wilayah Kerajaan Wengker membentang sangat luas yang kira-kira meliputi: Pacitan, Ponorogo, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Tulungagung dan Bojonegoro. Mengingat nama Wengker sudah ada sebelum era Majapahit dan cakupan wilayahnya juga sangat luas, maka pusat Kerajaan Wengker sulit untuk ditentukan. Namun jika didasarkan atas cerita rakyat tentang Kerajaan Ngatas Angin dan tokoh Raden Condromowo, maka dapat ditentukan bahwa pusat Kerajaan Wengker adalah di Ngetos. Hal ini didukung pula dengan cerita rakyat bahwa Prabu Hayam Wuruk meminta Raden Condromowo sebagai penguasa setempat untuk melaksanakan pembangunan Candi Ngetos.

Situs Condrogeni di Desa Ngliman juga dapat menjadi pertimbangan bahwa ada sebuah kerajaan penting di wilayah Nganjuk selatan. Artefak yang paling menonjol pada Situs Condrogeni adalah arca Dwarapala. Tidak ada informasi tentang angka tahun artefak tersebut, namun jika ditilik dari gaya pahatan arca tampaknya berasal dari masa yang jauh lebih kuno dari era Majapahitan. Arca semacam ini biasanya merupakan simbol penjaga gerbang candi negara yang artinya di daerah sekitar itu pernah berdiri sebuah kerajaan yang berdaulat. Identik dengan arca Totok Kerot di Kediri atau Dwarapala di Singosari. Hal ini dapat dipahami karena Kerajaan Wengker memang sudah ada jauh sebelum Majapahit berdiri dan tetap eksis sebagai kerajaan besar pada era Majapahit.

Ketika Gajah Mada menjadi patih di Kahuripan dan Daha, keberadaan Gunung Wilis sangat menawan hati sang patih. Gajah Mada sering mengunjungi daerah tersebut dan sangat mungkin mendirikan sebuah candi peribadatan di sana. Pasca peristiwa Bubat, Gajah Mada melarikan diri ke lereng Gunung Wilis dan mendirikan sebuah padepokan Buddha. Desa tempat berdirinya padepokan tersebut kemudian dikenal dengan nama Desa Ngliman yang dalam Bahasa Kawi artinya Gajah. Demikian pula Gunung Wilis sebenarnya memiliki nama asli Gunung Liman atau Gunung Gajah.

Ketika Wijayarajasa memindahkan istananya ke Wengker atau Ngetos, ia berhasil mengetahui tempat persembunyian Gajah Mada. Namun saat itu kesalahan Gajah Mada telah diamaafkan oleh Hayam Wuruk dan bahkan Hayam Wuruk meminta Gajah Mada sudi kembali ke istana Trowulan. Permintaan ini ditolak oleh Gajah Mada hingga akhir hayatnya Gajah Mada wafat dan dimakamkan di Desa Ngliman sebagai rakyat jelata Untuk menghormati jasa Gajah Mada, Hayam Wuruk meminta agar Wijayarajasa membangun sebuah candi pendarmaan di Ngetos. Candi tersebut terdapat dua buah atau disebut Candi Tajum atau candi kembar, satu candi untuk pendarmaan Gajah Mada, dan candi lainnya untuk pendarmaan Hayam Wuruk. Candi untuk pendarmaan Hayam Wuruk disebut Paramasukapura yang saat ini sudah hancur (Candi Bubrah), sedangkan candi pendarmaan untuk Gajah Mada masih dapat ditemui hingga sekarang atau biasa disebut dengan Candi Ngetos.

Oleh: Lintang Chandra (Narasumber Program Babad Anjuk Ladang di Radio Anjuk Ladang Nganjuk)

TRADISI NYADRAN DI NGANJUK




Tradisi Nyadran adalah ritual untuk memperingati asal muasal didirikannya suatu desa oleh “Eyang Kunci” atau orang yang pertama kali membuka lahan desa. Tradisi Nyadran masih dilestarikan sampai sekarang di berbagai desa di Kabupaten Nganjuk. Konon tradisi ini sudah berumur sangat kuno, yaitu sejak jaman Kerajaan Mataram Hindu.
Prosesi Nyadran biasanya diawali dengan ritual selamatan di kuburan atau punden desa tempat leluhur dimakamkan. Warga desa beriring-iringan sambil mengusung tandu kencana yang berisi berbagai hasil bumi dan makanan khas untuk selamatan. Tandu kencana tersebut diibaratkan sebagai tandu untuk mengusung Raja pada masa lampau. Perjalanan iring-iringan Nyadran diarahkan menuju rumah sang lurah dan kemudian diadakan upacara selamatan di sana bersama para sesepuh desa. Dalam acara selamatan itu dilakukan doa bersama lalu berkat selamatan dibagi-bagikan lagi kepada warga yang hadir. Setelah itu, biasanya prosesi Nyadran dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit maupun wayang timplong dan tarian tayub selama semalam suntuk.
Kata “Nyadran” berasal dari kata dalam Bahasa Sansekerta “Sadra” atau “Sradha” yang mempunyai arti ziarah makam atau suatu tradisi masyarakat jawa sejak jaman Hindu untuk memperingati leluhurnya. Dalam kitab Negarakertagama dan Pararaton diceritakan bahwa Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit memperingati kematian neneknya yaitu Gayatri dengan upacara Sradha. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi Nyadran adalah tradisi yang tekah diwariskan sejak jaman Majapahit bahkan lebih kuno lagi.
Saat ini ritual Nyadran di Kabupaten Nganjuk umumnya telah disesuaikan dengan pola peribadatan yang bernafaskan Islam Jawa (Kejawen), namun semua warga masyarakat dapat turut mengikutinya tanpa memandang perbedaan status dan agama yang dianutnya. Upacara Nyadran yang dulunya berupa pemberian sesajen kepada leluhur, saat ini telah diadaptasikan menjadi kegiatan bersih desa dan pengajian.

Jumat, 23 September 2011

NGANJUK KOTA ADIPURA

Makin ketatnya penilaian Adipura, tidak menghambat Kabupaten Nganjuk kembali mendapatkan penghargaan tertinggi di bidang lingkungan tersebut. Pada Bulan Juni 2011 lalu, Bupati Nganjuk Drs Taufiqurrahman menerima penghargaan bergengsi tersebut langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pekan Lingkungan Hidup Indonesia di Senayan, Jakarta.


Tidak hanya Adipura, pada kesempatan yang sama Bupati Nganjuk juga menerima penghargaan Adiwiyata. Penghargaan ini diberikan untuk SMPN 1 Prambon yang dinilai peduli lngkungan dan berhasil menyisihkan ratusan sekolah lainnya di Indonesia.

Nganjuk menjadi satu dari 14 kabupaten/kota di Jawa Timur yang mendapatkan Adipura. Untuk kategori kecil, Kabupaten Nganjuk berada di antara delapan kabupaten dan kota se-Jatim.


Sebagaimana tahun 2010 lalu, piala Adipura yang sudah tiga kali berturut-turut diraih Kabupaten Nganjuk diarak keliling wilayah kota dan sekitarnya. Terutama di wilayah yang menjadi sasaran penilaian Adipura.



Kamis, 22 September 2011

NASI BECEK NGANJUK

Nasi becek Nganjuk, baru kemarin saya mendengar nama makanan tersebut. Kebetulan kemarin ada acara akad nikah teman kantor di Nganjuk, dan sehabis acara, teman dari Madiun ngajak makan nasi becek. Warungnya cukup sederhana, letaknya di jalan Dr. Sutomo. Yang jual namanya Bu Tin, orangnya ramah. Kata Bu Tin, nasi becek sudah dijual secara turun temurun sejak tahun 1950. Bu Tin adalah keturunan ketiga.Nasi becek, kalau orang Nganjuk menyebutnya sego becek, adalah hidangan yang mirip dengan kari/kare kambing. Isi dari sego becek nyaris serupa dengan soto babat, juga mirip dengan nasi gule, tetapi lebih encer.

Secara keseluruhan, rasanya mungkin cenderung mirip dengan mayoritas makanan sejenis yang berkembang di daerah Solo, Jawa Tengah. Cenderung manis dan tidak asin, berbeda dengan umumnya hidangan utama ala Jawa Timuran yang cenderung asin. Karena saya berasal dari Jawa Tengah, saya cocok dengan makanan ini, rasanya luar biasa nikmat. Apalagi ditambah dengan beberapa tusuk sate kambing muda alias cempe, wah nikmatnya. Sate kambingnya sangat empuk sekali, baru pertama saya makan sate empuk seperti itu.

Nggak rugi deh, makan nasi becek di Nganjuk, lebih serunya lagi, kami di beri gratis 50 tusuk sate kambing muda, wah baik benar Bu Tin ini. Untuk membalas kebaikan beliau, maka saya ulas di blog ini xixixixi, semoga nasi becek-nya tambah laris dan terkenal di seluruh Indonesia. Amin.

Sumber: Setyo Budianto
http://travelling.setyobudianto.com/2010/05/nasi-becek-makanan-khas-nganjuk.html

Rabu, 21 September 2011

ALUN-ALUN NGANJUK

http://www.youtube.com/watch?v=tpY0nle3qQk
Masih ingat kan dengan Novita Anggraeni?? Itu lho pemenang KDI 5 yang terkenal dengan salah satu lagunya "Alun-Alun Nganjuk".
Selain suara maupun lagunya memang enak didenger, liriknya juga mengangkat setting latar Alun-Alun Nganjuk, membuat pikiran pendengar akan langsung tertuju pada objek tersebut.

Tidak ada yang teramat istimewa dari Alun-Alun Nganjuk, tetapi tempat ini dapat menjadi alternatif bagi warga Nganjuk atau siapapun yang berkunjung ke Kota Nganjuk untuk menikmati suasana taman kota. Anda dapat menghabiskan waktu sore hari sambil berjalan-jalan di seputar Alun-Alun Nganjuk dan menikmati aneka jajanan yang banyak dijual di tepi trotoar. Biasanya anak-anak remaja memanfaatkan sarana ini untuk berolahraga di lapangan basket atau sekedar kongkow-kongkow hingga beranjak malam. Di satu bagian alun-alun terdapat trotoar bertekstur batu-batu kali yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana pijat refleksi kaki. Masyarakat, khususnya para manula juga sering memanfaatkan alun-alun ini sebagai tempat berolahraga senam atai jogging, baik di pagi maupun sore hari.

Bila ada acara-acara khusus, biasanya Pemkot Nganjuk memanfaatkan alun-alun sebagai tempat hiburan rakyat. Misalnya acara HUT Kota Nganjuk biasanya menampilkan acara "Wayangan" atau "Orkes Melayu". Ada pula bazar yang rutin digelar di dalam alun-alun setiap ada acara khusus.

Dari alun-alun, kita juga bisa langsung berbelanja di areal pertokoan jalan Ahmad Yani yang terletak persis di depan alun-alun. Ada banyak produk yang bisa kita dapatkan di sepanjang jalan itu, mulai pakaian, perlengkapan sekolah, obat-obatan, hingga jajanan, khususnya warung-warung nasi pecel yang berjejer di Jalan Ahmad Yani sebelah selatan di waktu malam hari.

CANDI LOR















Candi Lor terletak di desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, atau kira-kira 3-5 kilometer arah selatan dari pusat kota Nganjuk. Candi Lor ini didirikan oleh Mpu Sindok pada tahun 859 Caka atau 937 M sebagai Tugu Peringatan Kemenangan Sindok atas musuhnya dari Melayu. Secara riil, candi yang menghadap ke barat ini wujudnya sudah tidak berbentuk lagi (sudah sangat rusak). Hal ini disebabkan usia bangunan yang memang sudah sangat tua, bahkan bangunan yang terbuat dari batu merah dan tumbuhnya pohon Kepuh di badan candi yang akar-akarnya mencengkeram dan menghunjam kesegala arah di badan candi sebelah selatan.






















Di sebelah baratnya lagi terdapat dua buah makam yang oleh penduduk diyakini sebagai makam Yang Kerto dan Yang Kerti, abdi kinasih Mpu Sindok. Candi Lor diduga bercorak Siwa. Walaupun Candi Lor keadaannya telah rusak, namun ditempat inilah terdapat salah satu bukti sejarah tentang keberhasilan Mpu Sindok mengalahkan musuhnya armada Melayu, dan sekaligus merupakan Tugu Peringatan

Senin, 19 September 2011

MISTERI MAKAM TUA MBAH NGLIMAN

Oleh: Lintang Wetan

Ada sebuah makam tua di daerah Ngliman-Nganjuk yang konon disebut makam "Mbah Ngliman". Makam ini bercorak Sywa-Budha sehingga diperkirakan orang yang dimakamkan berasal dari jaman Majapahit. Adanya sebuah pohon bodhi yang ditanam di lokasi makam mengisyaratkan bahwa orang yang dimakamkan bukanlah orang sembarangan, pastilah dia orang yang besar di jamannya.

Dalam wewaler (pesan spiritual) yang dijaga kerahasiaannya selama 650 tahun terungkap bahwa makam tsb tidak lain adalah makam dari Patih Agung Majapahit yakni Gajah Mada. Selama ini masyarakat awam percaya bahwa Gajah Mada moksa (murca) di air terjun Madakaripura-Probolinggo dalam semedinya. Namun cerita ini lebih bernuansa mitos / legenda dan tidak ada bukti arkeologisnya.

Sedangkan proses pembuktian sejarah yang sedikit demi sedikit mulai dilakukan oleh segelintir budayawan kian mendukung kebenaran makam Mbah Ngliman ini. Walau harus diakui masih banyak misteri yang belum terungkap karena pro kontra tentang apakah sudah tiba atau belum habis masa wewaler. Konon bila wewaler diungkap sebelum waktunya akan mendatangkan celaka. Salah seorang budayawan senior Kota Nganjuk, Drs. Harmadi, dalam bukunya "Wewaler Ki Ageng Ngliman" dan "Misteri Mukso Mahapatih Gajah Mada", mengungkapkan bahwa sosok Ki Ageng Ngliman sebenarnya adalah sosok pahlawan legendaris dari Kerajaan Mojopahit yaitu Maha Patih Gajah Mada. Dalam kedua buku tersebut dipaparkan kajian historis dan arkeologis yang mendukung pernyataan tersebut.

Berdasarkan ilmu "gothak gathuk mathuk", kata Ngliman berasal dari kata Liman = Gajah. Sedangkan Patih Gajah Mada dikenal sebagai duda yang tidak kawin, sehingga nama Air Terjun di Ngliman dinamakan Seduda. Terlebih lagi dalam filsafat Surya Majapahit, daerah tsb dipercaya sebagai salah satu cakra penting tanah Jawa. Cakra di sini berarti pusat energi yang menjadi penyeimbang gerak alam. Hal ini saling bertalian dengan makam perabuan Prabu Hayam Wuruk yang ada di Candi Ngetos yang berdekatan dengan Nglman. Susunan cakra ini berhubungan erat dengan letak Gunung Wilis dan Keraton ganda Majapahit di Daha yang dari masa ke masa selalu menjadi penyeimbang Keraton Kahuripan di Trowulan.

Bila misteri mistik tempat ini diungkap luas, entah apa yang akan terjadi dengan Pulau Jawa. Hari-hari ini ada semacam persamaan banyak jangka (ramalan) Jawa Kuno yang jatuh masa klimaknya. Tepatnya akhir masa kaliyuga (kegelapan). Jadi apakah fenomena wewaler Mbah Ngliman ini ada hubungannya dengan janji Sabdo Palon, Jangka Jayabaya, dan Ronggowarsito? Belum diketahui pasti. Tentu penelusuran ini tidak cukup hanya mengandalkan metode formal, namun juga diperlukan suatu perjalanan spiritual yang dalam.

Pada awal tahun 2011, saya sempat berkunjung ke makam Mbah Ngliman untuk memberikan penghormatan pada tokoh besar ini. Berikut beberapa foto yang sempat saya abadikan dari kamera hp amatiran:
Pintu masuk makam "Mbah Ngliman". Tampak rangkaian anak tangga yang merupakan jalan masuk menuju makam Ki Ageng Ngliman. Sosok yang diduga tak lain dan tak bukan adalah Mahapatih Gajah Mada yang tersohor dari Kerajaan Majapahit.














Konon setiap orang yang melewati tangga tersebut tidak pernah dapat menghitung ulang dengan sama benar jumlah anak tangga yang ada (saya belum mencobanya karena naik tangga sebanyak ini cukup bikin nafas ngos-ngosan).














Akhirnya nyampek juga di depan gapura makam Ki Ageng Ngliman setelah meniti puluhan anak tangga. Sebenarnya ada dua makam Ki Ageng Ngliman, satunya Gedong Kulon, satunya Gedong Wetan (yang ada di foto ini).

Janggalnya, tidak ada catatan sejarah yang jelas mengenai Ki Ageng Ngliman Gedong Wetan ini. Saat saya tanya abdi dalem makam, siapa sebenarnya Ki Ageng Ngliman ini, beliau hanya tersenyum saja.

Tapi dilihat dari gaya gapura tampak jelas bahwa ada relief patung budha dan arca dwaralapa, menunjukkan bahwa tokoh yang dimakamkan di sini adalah tokoh besar dari jaman Kerajaan Majapahit (sebelum masa Kerajaan Demak Bintoro).


Wah saya tidak boleh mengambil foto makam Ki Ageng Ngliman (katanya kalau melanggar kena petaka), wah ngeri... manut aja deh! Setelah masuk ke dalam ada sebuah nisan dengan sebuah peti terbungkus kain kafan putih kumal, aroma bunga dan sesaji sungguh pekat, terlebih atmosfer mistik yg kuat. Beberapa orang tampak duduk bersila berdoa dengan kusuk, sambil membaca ayat-ayat Qur'an, walau saya tau mereka sebenarnya datang untuk "ngalap berkah" (pesugihan).

Saya hanya duduk diam mematung sambil mengamati makam di hadapan saya. Dalam hati terhenyak dalam heran: andaikan benar..... seorang tokoh besar dari jaman Kerajaan Majapahit Mahapatih Gajah Mada, mengasingkan diri dalam pertapaan di tempat sederhana dan dmakamkan tanpa nama dan asal-usul. inikah artinya MOKSA sesungguhnya??